Senin, 10 Januari 2011

Kebudayaan Bone

        KEBUDAYAAN BONE


                                                                  RUMAH ADAT BONE



A. POLA PENATAAN SPATIAL   
Arsitektur rumah bangsa Bugis pada umumnya tidak bersekat-sekat, tanpa serambi yang terbuka. Tangga depan biasanya terletak dibagian pinggir. Didekat tangga tersedia tempat air untuk mencuci kaki. Tangga rumah dinaungi dengan atap kemudian di kiri atau kanan tangga terdapat pegangan untuk menaiki rumah. Di depan pintu masuk terdapat "Tamping" semacam ruang tunggu bagi tamu sebelum dipersilakan masuk oleh tuan rumah. Posisi "Tamping"  ini biasanya agak lebih rendah dari lantai ruang utama rumah.
Menurut fungsinya rumah bangsa Bugis dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Rakkiang yaitu bagian atas rumah di bawah atap yang berfungsi sebagai tempat menyimpan padi atau jagung serta benda-benda pusaka dan kadang pula dijadikan tempat menyembunyikan calon pengantin perempuan dan tempat berdandan gadis pingitan
2. Ale Bola /Watampola, yaitu terletak antara lantai dan loteng adalah ruang tinggal dan dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus untuk menerima tamu,tidur, dan makan.
3. Awaso, yaitu kolong rumah yang terletak dibagian bawah antara lantai dengan tanah atau bagian bawah lantai panggung yang dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian dan hewan ternak.

Selanjutnya pembagian ruang atau "Latte" pada bangunan rumah bangsa Bugis dikelompokkan dalam tiga bagian antara lain :
1. Latte Saliweng (Ruang Depan)yaitu berfungsi menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat musyawarah, tempat membaringkan mayat sebelum dikebumikan,dan sebagai tempat berkomunikasi bagi orang luar yang sudah diizinkan masuk. Sebelum memasuki ruangan ini maka orang luar (tamu) diterima dahulu di "Tamping" atau ruang transisi.
2. Latte Tengngah (Ruang tengah) yaitu berfungsi sebagai tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan,tempat melahirkan. kegiatan yang bersifai informal (kekeluargaan) bertempat diruang ini.
3. Latte Laleng (Ruang Dalam) berfungsi sebagai tempat tidur anak gadis dan nenek/kakek. karena anggota keluarga ini dianggap perlu mendapat perlindungan dari anggota keluarga.
            Khusus untuk "Saoraja" ada tambahan dua ruangan lagi, yaitu :
1.  Lego-lego
Berfungsi sebagai tempat duduk tamu sebelum masuk dan tempat meNononton bila ada acara di luar rumah.
2.  Dapureng (Dapur) yaitu terletak dibelakang atau samping yang berfungsi untuk ruang memasak dan menyimpan peralatan masak




                                            TATA CARA PERKAWINAN ADAT BONE




Adapun tahapan dari proses perkawinan adat Bone secara umum dapat dibagi atas tiga tahapan, yaitu tahapan pra nikah, nikah, dan tahapan setelah nikah. Selanjutnya untuk lebih jelasnya pada bagian ini akan dijelaskan tahapan perkawinan secara berturut-turut.

1. Madduta Massuro / Lettu

Banyak tahapan pendahuluan yang harus dilewati sebelum pesta perkawinan (Mappabotting) dilangsungkan. Jika lelaki belum dijodohkan sejak kecil (atau sebelum dia lahir) maka keluatganya akan mulai mencari-cari pasangan yang kira-kira dianggap sesuai untuknya. Bagi kaum bangsawan, garis keturunan perempuan dan laki-laki akan diteliti secara seksama untuk mengetahui apakah status kebangsawanan mereka sesuai atau tidak, jagan sampai tingkatan pelamar lebih rendah dari tingkat perempuan yang akan dilamar.
Madduta artinya meminang secara resmi, dahulu kala dilakukan beberapa kali, sampai ada kata sepakat, namun secara umum proses yang ditempuh sebelum meminang adalah sebagai berikut:


a. Mammanu’-manu

Mammanu’-manu’ bermakna seperti burung yang terbang kesana kemari, untuk menyelidiki apakah ada gadis yang berkenan di hati. Langkah pendahuluan ini biasanya ditugaskan kepada seseorang biasanya kepada para paruh baya perempuan, yang akan melakukan kunjungan biasa kepada keluarga perempuan untuk mencari tahu seluk beluknya, namun biasanya proses ini sangat tersamar. Mappésé-pésé dilakukan setelah kunjungan pertama tadi (Mammanu’-manu’) yaitu melakukan kunjungan resmi pertama untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang secara tidak langsung dan sangat halus (“ada orang yang akan mendekati anda………. Sudah adakah yang berbicara dengan anda?............sudah adakah yang punya?............... Apakah pintu masih terbuka?....”) agar kedua belah pihak tidak kehilangan muka atau malu seandainya pendekatan ini tidak membuahkan hasil. Jika keluarga perempuan memberi lampu hijau, kedua pihak kemudian menentukan hari untuk mengajukan lamaran secara resmi (Madduta). Selama proses pelamaran ini berlangsung garis keturunan, status kekerabatan, dan harta calon mempelai diteliti lebih jauh, sambil membicarakan sompa dan uang antaran (Dui ménré) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki untuk biaya perkawinan pasangannya, serta hadiah persembahan kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya.

b.Mappettu Ada

Mappettu Ada yang baiasanya juga ditindak lanjuti dengan (mappasierekeng) atau menyimpulkan kembali kesepakatan-kesepakatan yang telah dibicarakan bersama pada proses sebelumnya. Ini sudah merupakan lamaran resmi dan biasanya disaksikan oleh keluarga dan kenalan.
Pada saat inilah akan dibicarakan secara terbuka segala sesuatu terutama mengenai hal-hal yang prinsipil. Ini sangat penting karena kemudian akan diambil kesepakatan atau mufakat bersama, kemudian dikuatkan kembali keputusan tersebut (mappasierekeng). Pada kesempatan ini diserahkan oleh pihak laki-laki pattenre’ ada atau passio (“pengikat”) berupa cincin, beserta sejumlah benda simbolis lainnya, misalnya tebu, sebagai simbol sesuatu yang manis, buah nangka (Panasa) yang mengibaratkan harapan (minasa); dan lain sebagainya. Apabila waktu perkawinan akan dilaksanakan dalam waktu singkat, maka passio ini diiringi passuro mita yang diserahkan setelah pembicaraan telah disepakati.
- Satu lembar bahan waju tokko
-
Satu lembar sarung sutera atau lipa’ sabbé, juga disertai dengan;
-
Satu piring besar nasi ketan (sokko)
-
Satu mangkok besar palopo’ (air gula merah yang dimasak dengan santan dan diberi telur ayam secukupnya)
-
Dua sisir pisang raja

                               Aturan kedua pihak untuk persiapan pelaksanaan perkawinan



1. Tanra esso akkalabinéngeng

2. Mappaisseng atau memberi kabar

3. Mattampa / Mappalettu selleng


4. Mappatettong sarapo/ Baruga


5. Mappacci / Tudampenni


B. Akad Nikah /akkalabinengeng

Upacara akad nikah juga memiliki beberapa rangkaian acara yang secara beruntun. Kegiatan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Mappénré Botting

2. Madduppa botting

3. Akad Nikah


4. Mappasiluka

5. Maréllau Dampeng
C. Upacara Sesudah Akad Nikah

1. Mapparola
Acara ini merupakan juga prosesi penting dalam rangkaian perkawinan adat Bone, yaitu kunjungan balasan dari pihak perempuan kepada pihak lak-laki.

2. Marola wekka dua

Pada marola wekka dua ini, mempelai perempuan biasanya hanya bermalam satu malam saja dan sebelum matahari terbit kedua mempelai kembali ke rumah mempelai perempuan.


3. Ziarah kubur

Meskipun banyak pihak mengatakan bahwa ziarah kubur bukanlah merupakan rangaian dalam upacara perkawinan adat Bone namun sampai saat ini kegiatan tersebut masih sangat sering dilakukan karena merupakan tradisi atau adat kebiasaan bagi masyarakat Bone, yaitu lima harai atau seminggu setelah kedua belah pihak melaksanakan upacara perkawinan.

4. Cemmé-cemmé atau mandi-mandi

Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Bone bahwa setelah upacara perkawinan yang banyak menguras tenaga dan pemikiran maka rombongan dari kedua belah pihak pergi mandi-mandi di suatu tempat.


                                           
                               Baju Bodo / Baju Tokko





Baju bodo adalah baju adat Bugis-Makassar yang dikenakan oleh perempuan. Sedangkan Lipa’ sabbe adalah sarung sutra, biasanya bercorak kotak dan dipakai sebagai bawahan baju bodo.
Konon dahulu kala, ada peraturan mengenai pemakaian baju bodo. Masing-masing warna manunjukkan tingkat usia perempuan yang mengenakannya.
1. Warna jingga, dipakai oleh perempuan umur 10 tahun.
2. Warna jingga dan merah darah digunakan oleh perempuan umur 10-14 tahun.
3. Warna merah darah untuk 17-25 tahun.
4. Warna putih digunakan oleh para inang dan dukun.
5. Warna hijau diperuntukkan bagi puteri bangsawan
6. Warna ungu dipakai oleh para janda.
Selain peraturan pemakaian baju bodo itu, dahulu juga masih sering didapati perempuan Bugis-Makassar yang mengenakan Baju Bodo sebagai pakaian pesta, misalnya pada pesta pernikahan. Akan tetapi saat ini, baju adat ini sudah semakin terkikis oleh perubahan zaman. Baju bodo kini terpinggirkan, digantikan oleh kebaya modern, gaun malam yang katanya modis, atau busana-busana yang lebih simpel dan mengikuti trend.
Walau dengan keterpinggirannya, Baju bodo kini tetap dikenakan oleh mempelai perempuan dalam resepsi pernikahan ataupun akad nikah. Begitu pula untuk passappi’-nya (Pendamping mempelai, biasanya anak-anak). Juga digunakan oleh pagar ayu.